Posted on October 14, 2024 By Admin
Penggunaan kata “anak spesial”, “anak inklusi”, atau “anak istimewa” masih sering digunakan di berbagai perbincangan atau diskusi sebagai kata ganti untuk anak penyandang disabilitas. Selain itu, sering juga dijumpai seseorang yang menggunakan kata “maaf” ketika ia sedang ingin membicarakan tentang seorang yang disabilitas. Bahkan, seorang yang menggunakan kata “orang normal” untuk menggantikan orang yang bukan disabilitas. Pertanyaannya adalah, apakah penggunaan istilah-istilah tersebut tepat? Pertanyaan ini menjadi salah satu isu diskusi yang mengemuka pada acara Sensitivity and Equality for Disabilities Training yang diselenggarakan oleh Kelompok Riset Teacher/Student Effectiveness, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) pada Selasa dan Rabu, 24 dan 25 September 2024.
Menanggapi tentang penggunaan istilah-istilah seperti “anak spesial”, “anak istimewa”, bahkan “anak inklusi” sebagai kata ganti bagi anak penyandang disabilitas, Tolhas Damanik M.Ed, Direktur Eksekutif Yayasan Wahana Inklusif Indonesia yang juga menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut menyampaikan bahwa terkadang penggunaan istilah-istilah tersebut dimaksudkan untuk mencoba memperhalus atau membuat citra lebih baik dari kata disabilitas itu sendiri. Dengan harapan bahwa jika kata-kata tersebut digunakan, maka tidak akan terjadi ketersinggungan oleh pihak mana pun. Tolhas mengingatkan bahwa “disabilitas” sesungguhnya adalah bagian dari identitas yang melekat pada diri seseorang, sama halnya dengan identitas diri yang lain seperti jenis kelamin, ras, status pekerjaan, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak diperlukan penghalusan bahasa. Apa lagi memunculkan penggunaan terminologi baru seperti “anak inklusi” yang sesungguhnya bahkan tidak terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lebih lanjut, Tolhas mengingatkan bahwa penggunaan istilah-istilah yang tidak pada tempatnya itu bisa kemudian malah menjurus kepada pelabelan (labeling) pada penyandang disabilitas itu sendiri, oleh karenanya penggunaan terminologi yang tepat seperti penyandang disabilitas lebih disarankan.
Dalam sesi yang dimoderatori oleh Guru Besar Pasca Sarjana Fakultas Psikologi UI, Prof. Frieda Mangunsong ini, Tolhas berkesempatan juga memaparkan berbagai bentuk dukungan yang diberikan oleh Yayasan Wahana Inklusif Indonesia selama ini dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah dan memberikan hak pendidikan bagi anak penyandang disabilitas. Bentuk dukungan tersebut seperti layanan konseling, pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan tentang pendidikan inklusif, kunjungan teknis ke sekolah, dan kampanye peningkatan kesadaran. Tolhas mengajak semua pihak untuk bersama-sama berupaya agar semakin banyak anak penyandang disabilitas yang mendapatkan pendidikan layak.